Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI BOJONEGORO
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
1/Pid.Pra/2022/PN Bjn YONI RADITE bin REBUN Alm Kepolisian Republik Indonesia Kapolri Cq Kepolisian Daerah Jawa Timur Kapolda Jatim Cq Kepolisian Resort Bojonegoro Minutasi
Tanggal Pendaftaran Rabu, 12 Okt. 2022
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penahanan
Nomor Perkara 1/Pid.Pra/2022/PN Bjn
Tanggal Surat Rabu, 12 Okt. 2022
Nomor Surat 204/SKH/2022
Pemohon
NoNama
1YONI RADITE bin REBUN Alm
Termohon
NoNama
1Kepolisian Republik Indonesia Kapolri Cq Kepolisian Daerah Jawa Timur Kapolda Jatim Cq Kepolisian Resort Bojonegoro
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan

Perihal : PERMOHONAN PRA PERADILAN

 

Dengan hormat,

Perkenankan saya, IMAM SYAFI’I, SH., Advokat dan Konsultan Hukum pada Kantor Firma Hukum “GUTERES & PARTNERS” berkedudukan hukum dan berkantor di Jl. Hayam Wuruk Gg. Besaran RT.02 RW. 05 Desa Bejagung Kecamatan Semanding ( 0812575436, Tuban dalam hal ini berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertangal 10 Oktober 2022 (terlampir) bertindak untuk dan atas nama :

N a m a                         :  YONI RADITE bin REBUN (Alm)

Tmp/tgl lahir              :  Bojonegoro, 14-5-2000.

U m u r                         :  22 th.

Jenis Kelamin              :  Laki-laki

Agama                         :  Islam

Pekerjaan                    :  Belum Bekerja

Kewarganegaraan    :  Indonesia

Status                            :  Perjaka

Alamat                         :  Dsn. Suronanggan  RT. 013/RW.007 Desa Trojalu

                                          Kecamatan Bourno Kabupaten Bojonegoro.    

 

Untuk selanjutnya disebut ................................................PEMOHON

 

PEMOHON dengan ini mengajukan PERMOHONAN PRAPERADILAN sehubungan dengan PENETAPAN TERSANGKA dan PENAHANAN atas diri PEMOHON di wilayah hukum Pengadilan Negeri Bojonegoro oleh Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Cq. Kepolisian Daerah Jawa Timur (Kapolda Jatim) Cq. Kepolisian Resort Bojonegoro, beralamat di Jl. M.H. Thamrin No. 46 Bojonegoro.

Untuk selanjutnya disebut ---------------------------------------------TERMOHON;

Adapun alasan-alasan PEMOHON dalam mengajukan PERMOHONAN PRA PERADILAN ini adalah sebagai berikut :

 

DASAR HUKUM PERMOHONAN PRA PERADILAN

Bahwa, tindakan upaya paksa, seperti penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penahanan dan penuntutan yang dilakukan dengan melanggar peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan suatu tindakan perampasan Hak Asasi Manusia. Menurut Andi Hamzah (1986:10) praperadilan merupakan tempat mengadukan pelanggaran Hak Asasi Manusia, yang memang pada kenyataannya penyusunan KUHAP banyak disemangati dan berujukan pada hukum Internasional yang telah menjadi International Customary Law. Oleh karena itu, Praperadilan menjadi satu mekanisme control (Vide Bab X Bagian Kesatu KUHAP dan Bab XII Bagian Kesatu KUHAP) terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan tersebut. Hal ini bertujuan agar hukum ditegakkan dan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia sebagai tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan penyidikan dan penuntutan. Disamping itu, praperadilan bermaksud sebagai pengawasan secara horizontal terhadap hak-hak tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan (vide Penjelasan Pasal 80 KUHAP). Berdasarkan nilai itulah penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penahanan, dan penuntutan agar lebih mengedepankan asas dan prinsip kehati-hatian dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka;

 

Bahwa, disamping itu (Vide fungsi control secara horizontal/poin 1) pada hakekatnya pranata Praperadilan yang diatur dalam Bab X Bagian Kesatu KUHAP dan Bab XII Bagian Kesatu KUHAP juga merupakan sarana untuk mengawasi secara horizontal terhadap penggunaan wewenang oleh aparat penegak hukum (ic. Penyelidik, Penyidik dan Penutut Umum). Dalam hal wewenang dilaksanakan secara sewenang – wenang oleh aparat penegak hukum, dengan maksud atau tujuan lain di luar dari yang ditentukan secara tegas dalam KUHAP, maka pengujian atas keabsahan penggunaan wewenang tersebut dilakukan melalui pranata Praperadilan, guna menjamin perlindungan terhadap hak asasi setiap warga negara (in casu PEMOHON);

 

Bahwa, sebagaimana diketahui Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 angka 10 menyatakan :

“Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:

Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
Permintaan ganti kerugian, atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.”

Bahwa,  Permohonan Praperadilan ini diajukan berdasarkan Ketentuan Pasal 77 s.d Pasal 83 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai berikut :

 

Pasal 77 KUHAP:

“...Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang tentang:

Sah tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan...”

 

Pasal 79 KUHAP:

“...Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan diajukan oleh Tersangka, keluarga atau kuasanya kepada Ketua Pengadilan Negeri dengan menyebutkan alasannya”.

 

Bahwa, dalam perkembangannya pengaturan Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 Jo. Pasal 77 KUHAP, sering terjadi tidak dapat menjangkau fakta perlakuan aparatur penegak hukum yang nyata-nyata merupakan pelanggaran hak asasi seseorang, sehingga yang bersangkutan tidak memperoleh perlindungan hukum yang nyata dari Negara. Untuk itu perkembangan yang demikian melalui dapat diakomodirnya mengenai sah tidaknya penetapan tersangka telah diakui merupakan wilayah kewenangan praperadilan, sehingga dapat meminimalisir terhadap perlakuan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum. Dalam kaitan perubahan dan perkembangan hukum dalam masyarakat yang demikian, bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi dalam praktik sistem hukum di negara mana pun apalagi di dalam sistem hukum common law, yang merupakan bagian dari sistem hukum di Indonesia. Peristiwa hukum inilah yang menurut (Alm) Satjipto Rahardjo disebut ”terobosan hukum” (legal-breakthrough) atau hukum yang prorakyat (hukum progresif) dan menurut Mochtar Kusumaatmadja merupakan hukum yang baik karena sesuai dengan perkembangan nilai-nilai keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Terobosan hukum dan hukum yang baik itu merupakan cara pandang baru dalam memandang fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional di Indonesia. Dengan demikian hukum bukan hanya memiliki aspek normatif yang diukur dari kepastiannya melainkan juga memiliki aspek nilai (values) yang merupakan bagian dinamis aspirasi masyarakat yang berkembang dan terkini;

 

Bahwa menguji keabsahan penetapan status Tersangka, sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan (ic. PEMOHON) adalah untuk menguji tindakan-tindakan  penyidik itu apakah bersesuai dengan norma/ketentuan dasar mengenai penyidikan yang termuat dalam KUHAP, mengingat penetapan status Tersangka, sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan adalah “kunci utama” dari tindakan selanjutnya yang dapat dilakukan oleh aparat penegak hukum (ic. Penyelidik, Penyidik dan Penuntut Umum) berupa upaya paksa, baik berupa pencegahan, penggeledahan, penyitaan maupun penahanan. Dengan kata lain, adanya “status tersangka” itu menjadi alas hukum bagi aparat penegak hukum (ic. Penyelidik, Penyidik dan Penuntut Umum) untuk melakukan suatu upaya paksa terhadap seseorang yang telah ditetapkan sebagai tersangka;

 

Bahwa, pengujian keabsahan penetapan status Tersangka, sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan adalah melalui pranata Praperadilan, karena hal itu adalah dasar hukum untuk dapat dilakukan upaya paksa terhadap seorang warga Negara, yang merupakan bagian dari rangkaian tindakan penyidik dalam proses penyidikan, sehingga pranata hukum yang berwenang menguji dan menilai keabsahan “Penetapan Tersangka” adalah Praperadilan;

 

Bahwa, hal-hal yang terurai tersebut diatas selaras dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015, bahwa Penetapan Tersangka merupakan bagian dari wewenang Praperadilan . Mengingat Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, maka sudah tidak perlu untuk diperdebatkan lagi bahwa semua harus melaksanakan Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sejak diucapkan;

 

Bahwa,  terdapat beberapa putusan pengadilan yang memperkuat dan melindungi hak-hak tersangka, sehingga lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan mengadili keabsahan penetapan tersangka seperti yang terdapat dalam perkara berikut :

Putusan Pengadilan Negeri Bengkayang No. 01/Pid.Prap/2011/PN.BKY tanggal 18 Mei 2011;
Putusan Mahkamah Agung No. 88 PK/PID/2011 tanggal 17 Januari 2012;
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 38/Pid.Prap/2012/Pn.Jkt.Sel tanggal 27 november 2012;
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel tanggal 15 Februari 2015;
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 36/Pid.Prap/2015/Pn.Jkt.Sel tanggal 26 Mei 2015; dan lain sebagainya.

Bahwa, melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 memperkuat diakuinya lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan mengadili keabsahan penetapan tersangka, seperti pada kutipan putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 sebagai berikut ;

Menyatakan :

Mengabulkan Permohonan Pemohon untuk sebagian :

Frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup” dan “ bukti yang cukup” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara RI Tahun 1981 No. 76 Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3209) bertentangan dengan UUD Negara RI Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup” dan “ bukti yang cukup” adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;

 

Frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup” dan “ bukti yang cukup” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara RI Tahun 1981 No. 76 Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hokum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup” dan “ bukti yang cukup” adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor * Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;

 

Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;

 

Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;

 

Dengan demikian jelas bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 bahwa Penetapan Tersangka merupakan bagian dari wewenang Praperadilan. Mengingat Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, maka sudah tidak dapat diperdebatkan lagi bahwa semua harus melaksanakan Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sejak diucapkan;

 

Bahwa, berdasarkan seluruh uraian di atas, sangatlah beralasan dan cukup alasan hukumnya dalam hal Praperadilan yang dimohonkan PEMOHON ini diajukan kehadapan hakim, adalah dilangggarnya hak asasi PEMOHON  akibat tindakan TERMOHON vang dilakukan tidak sesuai prosedur yang ditentukan oleh hukum acara pidana dan dilakukan dengan prosedur yang salah dan menyimpang dari ketentuan hukum acara pidana dalam hal ini KUHAP, oleh karenanya Permohonan PEMOHON untuk menguji keabsahan oleh TERMOHON melalui Praperadilan adalah sah menurut hukum ;

 

ALASAN PERMOHONAN PRA PERADILAN (FAKTA-FAKTA)

 

1. PEMOHON TAK PERNAH DIPERIKSA SEBAGAI CALON TERSANGKA

Bahwa, melalui putusannya No. 21/PUU-XII/2014, Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan mengabulkan sebagian permohonan pemohon yang salah satunya menguji ketentuan obyek praperadilan . Melalui inkonstitusional bersyarat terhadap “frasa bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”  dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17 dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP sepanjang dimaknai minimal dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP . Pasal 77 huruf (a) KUHAP dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan;
Mahkamah beralasan, KUHAP tidak memberi penjelasan mengenai batasan jumlah (alat bukti) dari frasa “bukti permulaan” , “bukti permulaan yang cukup” dan “bukti yang cukup”;

 

Frasa “bukti permulaan” , “bukti permulaan yang cukup” dan “bukti yang cukup”.dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17 dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya, kecuali tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadiran (in absensia);

 

b. Mahkamah menganggap syarat minimum dua alat bukti dan pemeriksaan calon tersangka untuk transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai Tersangka telah dapat memberikan keterangan secara seimbang. Hal ini menghindari adanya tindakan sewenang-wenang oleh Penyidik terutama dalam menentukan bukti yang cukup itu;

 

Bahwa, sebagaimana diketahui Pemohon tidak pernah dilakukan Pemeriksaan dalam kapasitas Pemohon sebagai calon Tersangka, dan berdasarkan pertimbangan Surat Perintah Penangkapan No. : Surat Perintah Penangkapan Nomor : SP.Kap/203/IX/2022/Satreskrim tertanggal 25 September 2022 oleh Termohon yang telah diterima Pemohon, tak pernah ada bukti Pemohon diperiksa sebagai Calon Tersangka oleh Termohon, hal tersebut juga didukung dengan tidak pernah disampaikannya Surat Panggilan I dan Surat Panggilan II oleh Termohon kepada Pemohon, sehingga tidak dengan seimbang Pemohon dapat melakukan klarifikasi terhadap apa yang dituduhkan Termohon kepada Pemohon ;
Untuk itu  berdasar pada putusan Mahkamah Konstitusi nomor : 21/PUU-XII/2014 “frasa bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”  dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17 dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya. Tindakan tersebut tidak pernah dilakukan oleh Termohon kepada Pemohon. Dikarenakan Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, serta berlaku asas Res Judikata (Putusan Hakim harus dianggap benar) serta Putusan MK bersifat Erga Omnes (berlaku umum) maka harus menjadi rujukan dalam setiap proses pemeriksaan oleh Termohon dalam hal ini RESKRIM Polres Blora;

 

Dengan demikian jelaslah sudah tindakan Termohon dengan atau tanpa pemeriksaan Calon Tersangka merupakan tindakan yang tidak sah, dan harus dibatalkan oleh Yang Mulia Hakim yang memeriksa perkara a quo, terkait keberadaan Pemohon sebagai Tersangka oleh Termohon, yang tersampaikan dalam Pertimbangan Surat Perintah Penahanan No. Sp.Han/172/IX/202/Satreskrim tanggal 26 September 2022, yang berbunyi : (1)Bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan dan penyidikan sementara diperoleh bukti yang cukup tersangka diduga keras telah melakukan tindak pidana yang dapat dikenakan penahanan, (2) Bahwa   tersangka dikhawatirkan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana, (3) Maka perlu mengeluarkan Surat Perintah ini” .

 

2. TERMOHON TIDAK CUKUP BUKTI DALAM MENETAPKAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA

2.1. Bahwa berdasar pada Putusan Mahkamah Konstitusi dengan nomor Perkara 21/PUU-XII/2014 Frasa “bukti permulaan”, Frasa “bukti permulaan Yang Cukup” dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17 dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP oleh Mahkamah Konstitusi dinyatakan harus dimaknai sebagai “minimal dua alat bukti” sesuai dengan pasal 184 KUHAP;

2.2.  Bahwa berdasar pada argument-argument sebelumnya, maka Pemohon ragu terhadap terpenuhinya 2 (dua) alat bukti yang dimiliki oleh Termohon dalam hal menempatkan Pemohon sebagai Tersangka dalam dugaan Tindak Pidana dimuka umum bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang atau barang, dihukum penjara selama-lamanya lima tahun enam bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 170 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana oleh Termohon kepada Pemohon, mengingat dari penetapan tersangka hingga saat permohonan praperadilan ini dimohonkan oleh Pemohon, kelengkapan formil dan materil berkas perkara hasil pemeriksaan oleh Termohon belum menyatakan diri lengkap (P-21) karena masih terdapat kekurangan alat bukti yang harus dilengkapi baik secara formil maupun materiil;

2.3.   Bahwa, pemeriksaanpun masih terus menerus dilakukan oleh Termohon biarpun sudah menetapkan status Pemohon sebagai Tersangka, hal tersebut berdasar pada adanya pemeriksaan Saksi oleh Termohon melalui agenda absen setiap hari Senin dan Kamis oleh 8 (delapan) orang saksi ke Reskrim Polres Bojonegoro, dalam perkara dugaan tindak pidana yang sama (vide Pasal 170 KUHP) dengan Tersangka yang masih sama (i.c Pemohon);

2.4. Bahwa, sejak diperiksa dan dimulainya Penyidikan oleh Termohon, Surat Perintah Dimulainya Penyidikan pun baru diterima oleh Pemohon melalui PH Pemohon pada Kamis 6 Oktober 2022 namun tidak demikian dengan Surat penetapan sebagai tersangka (ic. Surat Ketetapan Nomor : ?,  tentang PERALIHAN STATUS ) diterbitkan tanggal berapa, yang ditujukan kepada Pemohon, jelas dan konkrit apabila penetapan tersangka oleh Termohon kepada Pemohon tidak didasarkan pada bukti-bukti permulaan yang cukup, hal ini melanggar Pasal 17 jo Pasal 21 Ayat (1) KUHAP yang didasarkan alasan-alasan sebagai berikut :

Pemohon pada saat ditangkap dan ditahan tidak didampingi Penasihat hukum dan tidak ada Penolakan dari Pemohon untuk didampingi Penasihat Hukum, hal ini jelas-jelas melanggar Pasal 114 Jo Pasal 56 KUHAP;

 

Berkenaan dengan Pasal 170 KUHP yang dikenakan kepada Pemohon adalah tidak benar dan tidak mempunyai dasar hukum sama sekali dengan unsur yang dikenakan Termohon kepada Pemohon., sebab sampai dengan dimulainya Penyidikan oleh Termohon kepada Pemohon/Tersangka, Terduga pelaku (vide Pelaku yang memakai cadar ), diduga yang melakukan pemukulan terhadap korban belum tertangkap dan masih dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) oleh Termohon, tentulah hal ini menjadi  Pekerjaan Rumah (PR) tersendiri bagi Termohon, sebab hal tersebut berkonsekwensi terhadap terkatung-katungnya berkas perkara Pemohon sebagai Tersangka dari Polisi ke jaksa. Terkatung-katungnya berkas penyidikan Pemohon tersebut disebabkan belum adanya aturan atau pagar-pagar yang jelas soal pelimpahan perkara pidana dari polisi ke jaksa ;

 

Bahwa, secara keseluruhan dokumen administrasi Termohon sebagai syarat formal yang bersifat “imperative”, seperti Surat Tugas, Surat Perintah Penangkapan, Surat Perintah Penahanan , Surat Pemanggilan Tersangka/Saksi dan Surat Ketetapan sebagai Tersangka, dalam proses penyidikan tindak pidana yang dituduhkan kepada Pemohon, sangat tidak tertib dan cenderung diindahkan seperti :

 

Termohon tidak pernah melakukan pemanggilan terhadap Pemohon /Tersangka (vide melanggar Pasal 7 ayat (1) huruf g KUHAP);
Termohon tidak pernah memberikan Surat Penetapan status Tersangka kepada Pemohon hanya sebuah Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan dengan Nomor : B/218/IX/2022/Satreskrim;
Termohon tidak membuat Berita Acara Penangkapan dan Berita Acara Penahanan dimana Pemohon “harus dan wajib” untuk menanda tangani Berita Acara baik penangkapan maupun penahanan;
Yang semestinya menjadi dasar hukum Surat Perintah Penangkapan (vide Pasal 19 ayat (2) oleh Termohon dipergunakan sebagai Pertimbangan;

 

Bahwa, dengan diperlakukannya Pemohon sebagai Tersangka tanpa melalui proses Surat Ketetapan Sebagai Tersangka kepada Pemohon, yang juga tanpa didasari dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, sehingga Termohon tidak independen, dengan demikian Termohon jelas-jelas tanpa didasarkan alat bukti yang sah, hal mana bertentangan dengan Pasal 183 Jo Pasal 184 jo Pasal 185 KUHAP ;

 

TINDAKAN TERMOHON ADALAH INKONSTITUSIONAL.

Bahwa, oleh karena kaidah Hukum Acara Pidana (KUHAP) terutama berpaut dengan hal proses hukum bagi pelaku yang meliputi  pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, penahanan, perpanjangan penahanan, pengajuan ke persidangan, pendampingan oleh kuasa hokum dan sebagainya, maka kaidah hokum pidana (KUHAP) terutama harus menjamin perlindungan hak asasi bagi pelaku yang merupakan sentral personae the materialsphere of validity, menyangkut kepentingan orang yang dituntut.

“…….ia harus diperlakukan secara adil sedemikian rupa, sehingga jangan sampai orang yang tak berdosa mendapat hukuman, atau kalau ia memang berdosa, jangan sampai ia mendapat hukuman yang terlalu berat, tidak seimbang dengan kesalahannya “ ( vide Prof. R. Wirjono Projdjodikoro –Mantan Ketua MA (1961:13) ;

Bahwa, keberadaan KUHAP dibawah rangkuman puncak hierarki UUD 1945 mencakup semua perubahan UUD 1945 daripadanya, sehingga KUHAP tidak boleh bertentangan dengan konstitusi, Apabila ada ketentuan kaidah KUHAP yang bertentangan dengan UUD 1945 maka kaidah a quo dipandang inkonstitusional;
Bahwa, tindakan Termohon dalam perkara ini jelas-jelas telah melanggar ketentuan yang disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan (vide KUHAP Pasal (1) angka 14) , sebab tindakan Termohon yang menetapkan PERALIHAN STATUS Pemohon menjadi Tersangka, tidak melalui agenda gelar perkara Penetapan Peralihan Status, kalaupun sudah dilakukan, kapan dilaksanakan agenda gelar perkara Penetapan Status Tersangka terhadap Pemohon, Siapa saja yang hadir dalam Gelar Perkara Penetapan Status Tersangka tersebut (in casu daftar hadir gelar penetapan status tersangka) , lantas Berita Acara Gelar Perkara Penetapan Status Tersangka tersebut hasilnya bagaimana dan seperti apa, hal-hal itulah yang perlu diuji dalam sidang yang terhormat ini;
Bahwa, upaya Termohon untuk menetapkan status tersangka bagi Pemohon, adalah terlalu instan, dipaksakan dan lebih bernuansa intimidatif ,  sementara pemeriksaan permulaan   atau penyelidikan atas perkara a quo termasuk mengumpulkan bukti, yang diduga ada hubungannya dengan perbuatan tersebut tentulah memerlukan proses panjang, hal ini pantas kiranya jika Pemohon menilai ada kejanggalan disamping hak-hak Pemohon yang dikesampingkan oleh Termohon, diantaranya Termohon tidak memberikan kesempatan kepada Pemohon untuk melakukan pembelaan diri atas pengalihan status Pemohon menjadi tersangka dan tentu akibatnya proses penyelidikan dan penahanan oleh Termohon menjadi tidak sah ;
Bahwa, terkait dengan Pengalihan status Pemohon , jika rumusan Pasal 5 KUHAP sedemikian banyaknya kewenangan dan tindakan yang dapat dilakukan oleh Penyelidik, sudah barang tentu membutuhkan waktu lebih dari 2 (dua) bulan untuk menetapkan status tersangka Pemohon, dan dengan pasti Termohon telah menganthongi “bukti permulaan” , apalagi tindak pidana Pasal 170 KUHP ini ini sudah barang tentu akan melibatkan banyak pihak/orang, baik sebagai korban, saksi ataupun diperolehnya tersangka baru dalam perkara a quo ;
 Bahwa, Pengalihan Status oleh Termohon kepada Pemohon sudah barang tentu telah ditemukan bukti permulaan sehingga Pemohon patut diduga sebagai pelaku tindak pidana, lantas bukti permulaan yang bagaimana yang telah ditemukan oleh Termohon yang berkonsekwensi terhadap status Pemohon dari saksi menjadi tersangka ;
Bahwa, Pengeroyokan sesuai dengan Pasal 170 KUHP, sangat nampak sekali Pemohon telah dianggap bersalah oleh Termohon sehingga jelas sekali Termohon melanggar Pasal 8 UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman “ setiap orang yang ditahan, disangka, ditangkap, dituntut, dan /atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap”;
Bahwa, Termohon sekonyong-konyong melakukan penangkapan dan penahanan  tanpa didasarkan pada bukti-bukti permulaan yang cukup, hal ini melanggar Pasal 17 Jo Pasal 21 ayat (1) KUHAP, mengakibatkan Pemohon merasa dirugikan dan untuk mendapatkan perlindungan dan kepastian hukum, dengan terpaksa Pemohon mengajukan persoalan ini ke dalam sidang Praperadilan;
Bahwa, Pasal 1 angka 14 KUHAP menyatakan :

“Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau kesalahannya berdasarkan bukti permulaan yang patut diduga sebagai pelaku tindak pidana”.

Pasal 1 angka 17 KUHAP menyatakan :

“ Perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup”.

Nomenklatur “bukti permulaan” , “bukti permulaan yang cukup” pada kedua kaidah Pasal KUHAP dimaksud tidak jelas parameternya dan tentunya hal tersebut akan menimbulkan hal ketidak pastian hukum dan ketidak adilan yang pada saatnya menjadikan kesewenang-wenangan Termohon (vide Petugas penyidik ), yaitu dengan menentukan sendiri apa yang dimaksud dengan “bukti permulaan” , “bukti permulaan yang cukup”;

Bahwa, Penangkapan (Surat Perintah Penangkapan Nomor : SP.Kap/203/IX/2022/Satreskrim tertanggal 25 September 2022) dan Penahanan (Surat Perintah Penahanan No. Sp.Han/172/IX/202/Satreskrim tanggal 26 September 2022) oleh Termohon tersebut tanpa didasarkan atas analisa yuridis yang sejatinya tidak cukup bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 170 KUHP  jelas-jelas merugikan Pemohon;
Berdasar pada uraian diatas, maka tindakan Pemohon yang tidak memenuhi minimal 2 (dua) alat bukti sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi dengan nomor Perkara 21/PUU-XII/2014, maka dapat dinyatakan tidak sah dan tidak berdasar atas hukum.

 

TENTANG HUKUMNYA

 

Bahwa terhadap tindakan TERMOHON menetapkan PEMOHON tanpa disertai dengan Surat Penetapan sebagai Tersangka dan menahan Pemohon sebagai Tersangka harus diuji dengan norma Pasal 1 angka 2, Pasal 1 angka 5, Pasal 1 angka 14 KUHAP dihubungkan dengan norma Pasal 183, Pasal 184 KUHAP untuk menilai apakah tindakan TERMOHON dalam perkara a quo ini sah atau tidak sah;

 

Bahwa Penetapan dan Penahanan Pemohon jika dihubungkan dengan amar Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Putusan Nomor 21/ PUU – XII/2014 tanggal 28 April 2015 terkait norma Pasal 1 angka 14 KUHAP, maka terhadap penetapan Pemohon sebagai Tersangka ini muncul pertanyaan: “Kapan TERMOHON memperoleh minimal dua alat bukti yang sah yang termuat dalam Pasal 183, Pasal 184 KUHAP yang dijadikan dasar oleh TERMOHON untuk menetapkan Pemohon sebagai Tersangka”

 

Bahwa untuk menjawab pertanyaan di atas, maka terhadap tindakan TERMOHON menetapkan Pemohon sebagai Tersangka harus diuji dengan norma Pasal 1 angka 2, Pasal 1 angka 5, Pasal 1 angka 14 KUHAP dihubungkan dengan norma Pasal 183, Pasal 184 KUHAP untuk menilai apakah tindakan TERMOHON dalam perkara a quo ini sah atau tidak sah;

 

Bahwa norma Pasal 1 angka 14 KUHAP oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia telah diputus dalam Putusan Nomor 21/PUU - XII/2014 tanggal 28 April 2015 dengan aman yang berbunyi; Frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981. Nomor 76. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana; Frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup” dan “bukti yang cukup” adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana” :

 

Bahwa berdasarkan amar Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 21/PUU - XII/2014 tanggal 28 April 2015, maka norma Pasal 1 angka 14 KUHAP harus dimaknai : “Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan “minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184” patut diduga sebagai pelaku tindak pidana”;

 

Bahwa merujuk norma Pasal 1 angka 14 KUHAP, selanjutnya muncul pertanyaan kapan minimal dua alat bukti itu didapat oleh TERMOHON ?, apakah minimal dua alat bukti itu didapat pada tahap Penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 5 KUHAP ?. ataukah pada tahap Penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 KUHAP;

 

Bahwa menjawab pertanyaan diatas, jelas dan terang bahwa, norma Pasal 1 angka 5 KUHAP menyebutkan penyelidikan diartikan sebagai “serangkaian tindakan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukannya penyidikan”. Sedangkan penyidikan ditentukan dalam Pasal 1 angka 2 KUHAP, yaitu “serangkaian tindakan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam KUHAP untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya ;

 

Bahwa merujuk pengertian yang telah ditentukan oleh KUHAP sebagaimana termuat dalam norma Pasal 1 angka 5, Pasal 1 angka 2 KUHAP, maka untuk mencapai proses penentuan Tersangka, haruslah terlebih dahulu dilakukan serangkaian tindakan untuk mencari dan menemukan suatu penstiwa yang diduga sebagai tindak pidana (penyelidikan). Untuk itu, diperlukan keterangan dari pihak-pihak vang terkait dan bukti-bukti awal vang dapat dijalin sebagai suatu rangkaian peristiwa sehingga dapat ditentukan ada tidaknya suatu peristiwa pidana. Setelah proses penyelidikan tersebut dilalui, maka dilakukan rangkaian tindakan untuk mencari serta mengumpulkan bukti agar terang suatu tindak pidana yang terjadi (penyidikan). Untuk itu kembali lagi haruslah dilakukan tindakan-tindakan untuk meminta keterangan dari pihak-pihak yang terkait dan pengumpulan bukti-bukti sehingga peristiwa pidana yang diduga sebelumnya telah menjadi jelas dan terang, dan oleh karenanya dapat ditentukan siapa tersangkanya. Rangkaian prosedur tersebut merupakan cara atau prosedur hukum yang wajib ditempuh oleh Termohon untuk mencapai proses penentuan Pemohon sebagai Tersangka. Adanya prosedur tersebut dimaksudkan agar tindakan penyelidik/penyidik (in casu TERMOHON) tidak sewenang wenang mengingat Pemohon mempunyai hak asasi yang harus dilindungi;

 

Bahwa dasar hukum bagi TERMOHON dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan atas diri Pemohon dalam perkara aquo adalah KUHAP, yang mana ketentuan Pasal 1 angka 5 KUHAP mengatur bahwa penyelidikan bertujuan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan. Sedangkan pengumpulan bukti-bukti, yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidananya dan menemukan tersangkanya dilakukan pada saat penyidikan sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka 2 KUHAP. Oleh karenanya cukup alasan hukumnya dan sangat berdasar ketika sampai dalam tahap akhir penyelidikan, yang didapat TERMOHON sebagai simpulan adalah berupa “menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana", dan bukan serta merta TERMOHON sudah dapat menentukan calon Tersangka-nya (ic. Pemohon);

 

Bahwa tindakan penyidik (ic TERMOHON) untuk menentukan Pemohon sebagai Tersangka merupakan salah satu proses dari sistem penegakan hukum pidana sebagaimana dimaksud dalam KUHAP, oleh karenanya proses tersebut haruslah diikuti dan dijalankan dengan prosedur yang benar sebagaimana diatur dan ditentukan dalam KUHAP atau perundang-undangan yang berlaku. Artinya, setiap proses yang akan ditempuh oleh TERMOHON haruslah dijalankan secara benar dan tepat sehingga asas Kepastian Hukum dapat terjaga dengan baik dan pada gilirannya hak asasi Pemohon yang akan dilindungi tetap dapat dipertahankan. Apabila prosedur yang harus diikuti oleh TERMOHON untuk mencapai proses penetapan Pemohon sebagai Tersangka tersebut tidak dipenuhi, maka sudah pasti proses tersebut menjadi cacat dan haruslah  dikoreksi/dibatalkan:

 

Bahwa sejalan dengan norma Pasal 1 angka 14 KUHAP, dalam pasal lainnya yaitu Pasal 1 angka 2 KUHAP mengatur pengertian penyidikan yang mestinya tidak ada keraguan lagi untuk menyatakan bahwa tindakan utama penyidikan adalah untuk mencari dan menemukan tiga hal, yaitu: 1) Bukti; 2) Tindak Pidana; dan 3) Pelakunya (Tersangkanya)

Oleh karena itu, penentuan ada tidaknya tindak pidana dan juga pelaku tindak pidananya ditentukan oleh bukti yang berhasil ditemukan penyidik (ic. TERMOHON), dengan kata lain tidak akan ada tindak pidana yang ditemukan dan juga tidak akan ada pelaku (tersangka) yang dapat ditemukan apabila penyidik (ic. TERMOHON) gagal menemukan bukti yang dimaksud. Dengan demikian, tindakan penyidikan tidak mengharuskan penyidik (ic. TERMOHON) untuk menetapkan adanya tersangka (dan juga tindak pidananya) kecuali hal itu didasarkan pada minimal dua alat bukti yang sah yang berhasil ditemukan penyidik (ic. TERMOHON) yang menunjukkan bahwa seseorang (ic. Ibu Pemohon) patut diduga sebagai pelaku tindak pidana tersebut;

 

Bahwa pasca Putusan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 21/PUU - XII/2014, “bukti permulaan” dalam Pasal 1 angka 14 KUHAP harus dimaknai “minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184” yang tidak hanya, sebatas alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 KUHAP, namun juga meliputi barang bukti yang dalam konteks hukum pembuktian universal dikenal dengan istilah physical evidence atau real evidence yang tentunya tidaklah dapat terlepas dari pasal yang disangkakan kepada Pemohon sebagai tersangka, yang pada hakekatnva pasal yang akan dijeratkan berisi rumusan delik yang dalam konteks hukum acara pidana berfungsi sebagai unjuk bukti. Artinya pembuktian adanya tindak pidana tersebut haruslah berpatokan kepada elemen - elemen yang ada dalam suatu pasal yang disangkakan dan dihubungkan dengan minimal dua alat bukti yang sah yang ditemukan oleh TERMOHON;

 

Bahwa frasa “....guna menemukan tersangkanya” dalam Pasal 1 angka angka 2 KUHAP harus dipahami “guna menemukan tersangkanya yang memenuhi unsur kesalahan bagi dirinya”. Unsur kesalahan (sehuld) harus dibuktikan karena seseorang tidak dapat dipidana (dihukum) tanpa kesalahan. Karena itu menjadikan Pemohon selaku Tersangka tanpa dibuktikan unsur kesalahan merupakan kesewenang-wenangan TERMOHON;

 

Bahwa sesuai amar Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 21/PUU – XII/2014 tanggal 28 April 2015, maka frasa “bukti permulaan” dalam Pasal 1 angka 14 yang dijadikan dasar patut diduga Pemohon karena perbuatannya sebagai pelaku tindak pidana adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Artinya secara hukum, minimal dua alat bukti yang sah itu bertitel “Pro Justisia” yang ditemukan/didapat oleh TERMOHON dalam tahap penyidikan bukan bukti – bukti yang ditemukan/didapat dari tahap penyelidikan.

 

Bahwa penentuan status PEMOHON menjadi Tersangka oleh TERMOHON yang tidak didasarkan minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana sesuai Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 21/PUU – XII/2014 tanggal 28 April 2015 merupakan tindakan sewenang-wenang, merupakan bentuk pelanggaran hak konstitusional PEMOHON selaku warga Negara Indonesia di dalam negara berdasar hukum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, selain itu juga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, Perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum;

 

Bahwa penentuan status PEMOHON sebagai Tersangka oleh TERMOHON tidak didasarkan minimal dua alat bukti yang sah, baik secara kuantitas maupun kualitas. Artinya, penentuan PEMOHON sebagai Tersangka ini bertentangan dengan Pasal 183 KUHAP maupun bertentangan dengan rumusan delik yang disangkakan.

 

Bahwa merujuk ketentuan Pasal 1 angka 2 KUHAP, sangat jelas dan terang TERMOHON dalam tahap Penyidikan untuk pengumpulan bukti-bukti tidak menganalisis “TEMPUS DELICT” secara benar atas dokumen yang telah dikumpulkannya baik dari segi kuantitas maupun kualitas atas dokumen yang dapat dikalifikasi sebagai alat bukti yang sah, yang apabila TERMOHON melakukan analisis “TEMPUS DELICT” dimaksud atas dokumen yang dikumpulkannya secara benar, tentu saat ekspose yang didapat TERMOHON sebagai kesimpulan dari penyidikan adalah “tidak ditemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana yang dilakukan oleh PEMOHON karenanya tidak cukup alasan hukumnya menetapkan PEMOHON sebagai Tersangka yang diduga melakukan tindak pidana” Dengan demikian tindakan TERMOHON yang serta merta menyatakan PEMOHON sebagai Tersangka dengan Surat Perintah Penyidikan Nomor : SP.Sidik/203/IX/2022/Satreskrim tanggal 25 September 2022 ini tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, yakni pada Pasal 1 angka 2 KUHAP, dan merupakan bentuk kesewenang-wenangan TERMOHON yang nyata-nyata melanggar hak asasi PEMOHON;

 

Bahwa Penetapan Pemohon sebagai Tersangka merupakan tindakan kesewenang-wenangan dan bertentangan dengan asas kepastian hokum jika dihubungkan dengan amar Putusan Mahkamah Konstitusi RI Putusan Nomor 21/ PUU – XII/2014 tanggal 28 April 2015 ;

 

IV. ANALISA YURIDIS

BAHWA HAL-HAL YANG SUDAH DIKEMUKAN DI ATAS ADALAH BAGIAN YANG TIDAK TERPISAHKAN DARI BAGIAN INI.

 

Bahwa sangat jelas Surat Perintah Penyidikan Nomor : SP.Sidik/203/IX/2022/Satreskrim tanggal 25 September 2022 yang “memberitahukan “ bahwa pada hari Minggu tanggal 25 September 2022 telah dimulai Penyidikan Tindak Pidana Barang siapa dimuka umum bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang atau barang, sebagaimana dimaksut dalam Pasal 170 KUHP , atas nama tersangka dst…..dengan kata lain adalah Pemohon ditetapkan sebagai Tersangka hanya berdasarkan pemberitahuan bukan penetapan adalah sangat tidak prosedural, bertentangan dengan hukum, melanggar hak asasi Pemohon dan juga sangat tidak relevan. Karena fakta kejadian adalah Pemohon saat ditetapkan menjadi Tersangka dan ditahan Termohon tanpa berdasarkan alat bukti yang cukup sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka 14 KUHAP yang menyebutkan bahwa: “Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.

 

Bahwa upaya paksa ( vide Penetapan Status Tersangka) oleh Termohon terhadap Pemohon tanpa disertai dengan Surat Penetapan Status Tersangka, dan lebih fatal lagi tanpa memberikan Surat Penetapan a quo kepada Pemohon maupun kepada Keluarga Pemohon merupakan kesewenang-wenangan TERMOHON yang berakibat pengurangan kebebasan, pengekangan, dan pembatasan hak asasi diri Pemohon. Untuk itu, Termohon harus membuktikan apakah tindakannya sudah dilakukan sesuai ketentuan hukum yang berlaku atau tidak,  mengingat pada kenyataannya Penahanan yang dilakukan oleh Termohon harus memenuhi sekurang-kurangnya dua alat bukti vang sah sebagaimana diatur Pasal 184 avat (1) KUHAP., dan faktanya meskipun Termohon telah melakukan pemeriksaan terhadap Pemohon dan membuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dan tanpa membuat surat panggilan. hal tersebut bukan termasuk 2 (dua) alat bukti yang cukup, karena jelas tindakan Termohon dalam penetapan tersangka kasus tindak pidana yang melanggar Pasal 170 KUHP kepada Pemohon , Termohon telah sewenang-wenang karena menetapkan dan menahan tersangka tanpa berdasarkan alat bukti yang cukup meskipun beralasan pada pasal 21 KUHAP namun Termohon harus mcmpunyai 2 (dua) alat bukti yang kuat dan bukan hanya berdasarkan keyakinan saja, Termohon telah menyimpangi Ketentuan Pasal 184 KUHAP;

 

Bahwa Penetapan Tersangka dan Penahanan oleh Termohon terhadap Pemohon sebagaimana uraian point 3 diatas sangat jelas apabila tindakan Termohon tersebut telah melanggar dan bertentangan dengan jiwa dan semangat KUHAP yang melindungi dan menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia sebagaimana terlihat jelas dalam Konsiderans KUHAP huruf a dan huruf c sebagai berikut :

 

Konsiderans KUHAP huruf a :

 

“…a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin segala warga Negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya…”

 

Konsiderans KUHAP huruf c :

 

“…c. bahwa pembangunan hukun nasional yang demikian itu di bidang hukum acara pidana adalah agar masyarakat menghayati hak dan kewajibannya dan untuk meningkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing kea rah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban serta kepastian hukum demi terselenggaranya negara hukum sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945…”

 

Bahwa Penetapan Tersangka dan penahanan oleh Termohon terhadap Pemohon yang tanpa didasari alat bukti yang cukup sebagaimana ketentuan Pasal 184 KUHAP tersebut telah melanggar hak asasi PEMOHON sebagaimana dilindungi dan dijamin keberadaannya dalam Undang-Undang Dasar 1945 pada Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G dan Pasal 28I ayat (1) sebagai berikut :

 

Pasal 28D ayat (1) UUD 1945:

 

“…Setiap orang berhak atas pengakuan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum…”

 

Pasal 28G:

 

“…(1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.

 

Bahwa Penetapan Tersangka dan penahanan oleh Termohon terhadap Pemohon yang tanpa didasari alat bukti yang cukup sebagaimana ketentuan Pasal 184 KUHAP tersebut juga telah melanggar ketentuan Pasal 3 ayat (2), Pasal 4, Pasal 5 ayat (1), Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia sebagai berikut:

 

Pasal 3 ayat (2) Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia :

 

“…Setiap orang berhak atas pengakuan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama di depan hukum…”

 

Pasal 4 Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia :

 

“…Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun…”

 

Pasal 5 ayat (1) Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia :

 

“…Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaannya di depan hukum…”

 

Pasal 18 ayat (1) Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia :

 

“…Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dan dituntut karena disangka melakukan sesuatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu siding pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan…”

 

V. PENETAPAN TERSANGKA DAN PENAHANAN TIDAK SAH SECARA HUKUM KARENA MELANGGAR KETENTUAN KUHAP

 

Bahwa hal yang sudah dikemukan di atas adalah bagian yang tidak terpisahkan dari bagian ini;
Bahwa Termohon dalam melakukan Penetapan Tersangka dan Penahanan terhadap Pemohon telah tidak menunjukkan ketidak kepatuhan terhadap hukum dengan tidak mengikuti sebagaimana ketentuan KUHAP yang tersebut di atas untuk itu mohon Pemohon dipanggil dan dihadapkan ke dalam sidang pra peradilan untuk didengar keterangan-keterangannya serta diperintahkan penyidik untuk membawa berkas-berkas acara pemeriksaan ke dalam sidang dan menyerahkan kepada Hakim Pra Peradilan;

 

Bahwa Karena Termohon tidak melaksanakan prosedur-prosedur sesuai dengan KUHAP, maka tindakan Termohon menunjukkan ketidakpatuhan akan hukum, padahal Termohon sebagai apparat Kepolisian Republik Indonesia in casu dalam kualitas sebagai Penyidik seharusnya memberikan contoh kepada warga masyarakat dalam hal ini Pemohon dalam hal pelaksanaan hukum. Hal ini sesuai dengan, antara lain, perintah Pasal 7 ayat (3) KUHAP sebagai berikut :

 

“…Dalam melakukan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), Penyidik wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku…”

 

Bahwa dalam perkembangannya PRAPERADILAN telah menjadi fungsi kontrol Pengadilan terhadap jalannya Peradilan sejak tahap Penyelidikan khususnya dalam hal ini yang berkaitan dengan penetapan Tersangka dan Penahanan sehingga oleh karenanya tindakan tersebut patut dikontrol oleh Pengadilan dengan menyatakan bahwa Penetapan Tersangka dan penahanan oleh Termohon kepada Pemohon adalah TIDAK SAH SECARA HUKUM KARENA MELANGGAR KETENTUAN KUHAP. Dengan demikian, jika seandainya menolak PERMOHONAN PRAPERA-DILAN aquo, penolakan itu sama saja dengan Meletigimasi Penetapan Tersangka Dan Penahanan Serta Penyitaan Yang Tidak Sah Yang Dilakukan Termohon Kepada Pemohon Merupakan Pelanggaran Hak Asasi Yang Dilakukan Termohon Kepada Pemohon

 

VI. PENETAPAN TERSANGKA DAN PENAHANAN YANG TIDAK SAH

       SECARA HUKUM MENIMBULKAN KERUGIAN BAGI PEMOHON

 

Bahwa hal yang sudah dikemukan di atas adalah bagian yang tidak terpisahkan dari bagian ini;

 

Bahwa tindakan PENETAPAN TERSANGKA DAN PENAHANAN serta PENYITAAN YANG TIDAK SAH SECARA HUKUM oleh Termohon Terhadap Pemohon Telah Mengakibatkan Kerugian Bagi Pemohon :

 

Bahwa Ketentuan Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana mengatur sebagai berikut :

 

Pasal 9 ayat (1) :

 

“…Ganti kerugian berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam pasal 77 huruf b dan pasal 95 KUHAP adalah berupa imbalan serendah-rendahnya Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah) dan setinggi-tingginya Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah)…”

 

Merujuk pada pasal tersebut di atas di mana fakta membuktikan bahwa akibat penangkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 KUHAP, maka nilai kerugian yang seharusnya dibayarkan kepada Pemohon adalah sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah):

 

Bahwa di samping kerugian Materiil. Pemohon juga menderita kerugian immaterial berupa :

Bahwa PENETAPAN TERSANGKA DAN PENAHANAN SERTA PENYITAAN YANG TIDAK SAH SECARA HUKUM oleh Termohon terhadap Pemohon telah menimbulkan trauma hidup, stress, ketakutan serta penderitaan bathin, dimana jika dinilai dalam bentuk uang adalah sebesar Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah);
Bahwa kerugian-kerugian Immateril tersebut di atas selain dapat dinilai dalam bentuk uang, juga adalah wajar dan sebanding dalam penggantian kerugian Immateriil aquo.

 

VI. PETITUM

 

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas mohon Ketua Pengadilan Negeri Bojonegoro agar segera mengadakan Sidang Praperadilan terhadap Termohon tersebut sesuai dengan hak-hak Pemohon sebagaimana diatur dalam Pasal 77 sampai dengan Pasal 83 serta Pasal 95 KUHAP, dan mohon kepada Ketua Pengadilan Negeri Bojonegoro Cq. Hakim Yang Memeriksa Permohonan ini berkenan memeriksa dan memutuskan sebagai berikut :

Memerintahkan agar Termohon dihadirkan dalam persidangan aquo untuk didengar keterangannya sehubungan dengan penetapan tersangka dan penahanan yang tidak sah secara hukum ;
Memerintahkan kepada Termohon untuk menghadirkan PEMOHON (Prinsipal) atas nama YONI RADITE bin REBUN (Alm) dalam persidangan  a-quo untuk didengar keterangannya sehubungan dengan penetapan tersangka dan penahanan yang tidak sah secara hukum ;

 

Disamping itu berdasar pada argument dan fakta-fakta yuridis diatas, Pemohon memohon kepada Hakim Pengadilan Negeri Bojonegoro yang memeriksa dan mengadili perkara a quo berkenan memutus perkara ini sebagai berikut :

Menyatakan diterima permohonan Pemohon Praperadilan untuk seluruhnya;
Menyatakan tindakan Termohon menetapkan Pemohon sebagai tersangka dengan dugaan Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 170 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana adalah tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum dan oleh karenanya penetapan tersangka a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
Menyatakan tidak sah penetapan yang dikeluarkan oleh Termohon yang berkenaan dengan penetapan tersangka atas diri Pemohon oleh Termohon;
Memerintahkan kepada Termohon untuk menghentikan penyidikan terhadap perintah penyidikan kepada Pemohon;
Memerintahkan kepada Termohon agar segera mengeluarkan/membebaskan Pemohon atas nama YONI RADITE bin REBUN (Alm)  dari Tahanan Termohon ;
Menghukum Termohon untuk membayar ganti Kerugian Materiil sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) dan kerugian Immateriil sebesar Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah), sehingga total kerugian seluruhnya sebesar Rp. 101.000.000,- (Seratus Satu Juta Rupiah) secara tunai dan sekaligus kepada Pemohon ;
Memulihkan hak Pemohon dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya;
Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara menurut ketentuan hukum yang berlaku.

 

Jika Pengadilan Negeri Bojonegoro berpendapat lain mohon Putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono)

PEMOHON  sepenuhnya memohon kebijaksanaan Yang Terhormat Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bojonegoro yang memeriksa, mengadili dan memberikan putusan terhadap Perkara a quo  dengan tetap berpegang pada prinsip keadilan, kebenaran dan rasa kemanusiaan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tuban, 12 Oktober 2022

Hormat Kami

Kuasa Hukum Pemohon

 

 

 

IMAM SYAFI’I, SH

 

 

Pihak Dipublikasikan Ya