Kembali |
Nomor Perkara | Pemohon | Termohon | Status Perkara |
1/Pid.Pra/2024/PN Bjn | REZA PRAKOSA Bin YUNI PRIYANTO Alm | KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Cq. KEPALA KEPOLISIAN DAERAH JAWA TIMUR KEPALA KEPOLISIAN RESOR BOJONEGORO | Minutasi |
Tanggal Pendaftaran | Jumat, 02 Agu. 2024 | ||||
Klasifikasi Perkara | Sah atau tidaknya penetapan tersangka | ||||
Nomor Perkara | 1/Pid.Pra/2024/PN Bjn | ||||
Tanggal Surat | Jumat, 02 Agu. 2024 | ||||
Nomor Surat | - | ||||
Pemohon |
|
||||
Termohon |
|
||||
Kuasa Hukum Termohon | |||||
Petitum Permohonan | Adapun yang menjadi alasan permohonan pemohon adalah sebagai berikut : I. DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN Tindakan upaya paksa, seperti penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penahanan, dan penuntutan yang dilakukan dengan melanggar peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan suatu tindakan perampasan hak asasi manusia. Menurut Andi Hamzah (1986:10) praperadilan merupakan tempat mengadukan pelanggaran Hak Asasi Manusia, yang memang pada kenyataannya penyusunan KUHAP banyak disemangati dan berujukan pada Hukum Internasional yang telah menjadi “International Customary Law”. Oleh karena itu, Praperadilan menjadi satu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan tersebut. Hal ini bertujuan agar hukum ditegakkan dan perlindungan Hak Asasi Manusia sebagai tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan penyidikan dan penuntutan. Di samping itu, praperadilan bermaksud sebagai pengawasan secara horizontal terhadap hak-hak tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan (vide Penjelasan Pasal 80 KUHAP). Berdasarkan pada nilai itulah penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penahanan, dan penuntutan agar lebih mengedepankan asas dan prinsip kehati-hatian dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka. “Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang: Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka; Bahwa selain itu yang menjadi objek praperadilan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 77 KUHAP diantaranya adalah: “Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang: sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan; Bahwa selain itu juga harus melihat Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana ; Putusan Pengadilan Negeri Purwodadi No. 2/pid.prap/2020/PN PWD Tertanggal 27 Agustus 2020 Bahwa melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 memperkuat diakuinya lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan mengadili keabsahan penetapan tersangka, seperti pada kutipan putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 sebagai berikut :
Mengadili, Menyatakan : Mengabulkan Permohonan untuk sebagian : [dst] Dengan demikian jelas bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 bahwa Penetapan Tersangka merupakan bagian dari wewenang Praperadilan. Mengingat Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, maka sudah tidak dapat diperdebatkan lagi bahwa semua harus melaksanakan Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sejak diucapkan. II. ALASAN PERMOHONAN PRAPERADILAN PEMOHON DILAKUKAN PENGGELEDAHAN KAMAR KOS YANG MENUNJUKAN SURAT PERINTAH PENGGELEDAHAN OLEH TERMOHON, NAMUN DI DALAM SURAT TERSEBUT TIDAK TERCANTUM NAMA PEMOHON ATAU DI DALAM SURAT TERSEBUT DIBAGIAN NAMA TIDAK ADA TULISANNYA (KOSONGAN) DAN TIDAK ADANYA SURAT IZIN PENGGELEDAHAN DARI PENGADILAN NEGERI SETEMPAT. Penggeledahan merupakan bagian dari wewenang “penyidik” untuk memasuki dan melakukan pemeriksaan terhadap rumah seseorang atau melakukan pemeriksaan terhadap badan atau pakaian seseorang yang dibenarkan oleh undang-undang. Tindakan penyidik tidak hanya terbatas pada melakukan pemeriksaan akan tetapi bisa sekaligus melakukan penangkapan dan penyitaan sepanjang telah memenuhi ketentuan hukum acara yang mengatur. Menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), penggeledahan sendiri terbagi menjadi dua, yaitu penggeledahan rumah dan penggeledahan badan Pasal 1 butir 17 KUHAP menjelaskan Penggeledahan Rumah yaitu “Tindakan penyidik untuk memasuki rumah tempat tinggal dan tempat tertutup lainnya untuk melakukan tindakan pemeriksaan dan atau penyitaan dan atau penangkapan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”. Sedangkan dalam Pasal 1 butir 18 KUHAP menjelaskan Penggeledahan Badan yaitu; “Tindakan penyidik untuk mengadakan pemeriksaan badan dan atau pakaian tersangka untuk mencari benda yang diduga keras ada pada badannya atau dibawanya serta, untuk disita”. Dalam melaksanakan penggeledahan, penyidik tidak sepenuhnya melakukan sendiri. Penyidik juga diawasi dan dikaitkan dengan Ketua Pengadilan Negeri dalam melakukan penggeledahan. Penggeledahan Rumah Untuk penyidik yang akan melakukan penggeledahan rumah atau tempat kediaman, terdapat 2 (dua) keadaan yang membedakan sifat penggeledahannya yaitu mengenai “keadaan biasa atau normal” maupun “keadaan sangat perlu dan mendesak”. Untuk tindakan penggeledahan yang dilakukan penyidik pada saat “keadaan biasa atau normal”, dilakukan dengan cara sebagai berikut: Harus ada “surat izin" Ketua Pengadilan Negeri Setempat Untuk melakukan penggeledahan, penyidik diharuskan terlebih dahulu meminta surat izin Ketua Pengadilan Negeri. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 33 ayat (1) KUHAP, yang menyatakan bahwa “Dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat penyidik dalam melakukan penyidikan dapat mengadakan penggeledahan rumah yang diperlukan”. Tujuan dimintakannya surat izin Ketua Pengadilan Negeri tiada lain untuk menjamin hak asasi setiap orang atas rumah kediamannya dan menghindari tindakan sewenang-wenang yang dilakukan penyidik dalam melakukan penggeladahan. Petugas Kepolisian Membawa dan Memperlihatkan “Surat Tugas” Surat izin Ketua Pengadilan Negeri, penyidik yang akan melakukan penggeledahan juga harus membawa serta memperlihatkan “surat tugas” penggeledahan kepada penghuni atau pemilik rumah yang hendak digeledah. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 33 ayat (2) KUHAP, yang menyatakan bahwa “Dalam hal yang diperlukan atas perintah tertulis dari penyidik, petugas kepolisian negara Republik Indonesia dapat memasuki rumah” Setiap Penggeledahan Rumah Tempat Kediaman Harus Ada Saksi Dalam hal seorang Tersangka ataupun penghuni rumah menyetujui dilakukannya penggeledahan, maka harus disaksikan minimal oleh 2 (dua) orang saksi. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 33 ayat (3) KUHAP, yang menyatakan bahwa “Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh dua orang saksi dalam hal tersangka atau penghuni menyetujuinya”. Namun apabila Tersangka maupun penghuni rumah tidak menyetujui atau menolak serta tidak menghadiri penggeledahan tersebut, maka penggeledahan tetap bisa dilaksanakan dengan cukup dihadiri oleh Kepala Desa atau Ketua Lingkungan dengan dihadiri 2 (dua) orang saksi, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 33 ayat (4) KUHAP Kewajiban Membuat Berita Acara Penggeledahan Apabila penggeledahan telah selesai dilakukan, maka penyidik dalam waktu paling lambat “dua hari” diharuskan membuat berita acara penggeledahan. sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 33 ayat (5) KUHAP, yang menyatakan bahwa “Dalam waktu dua hari setelah memasuki dan atau menggeledah rumah, harus dibuat suatu berita acara dan turunannya disimpan kepada pemilik atau penghuni rumah yang bersangkutan” Selain itu untuk tindakan penggeledahan yang dilakukan penyidik dalam hal “keadaan sangat perlu dan mendesak”, dilakukan dengan cara sebagai berikut : Penggeledahan Dapat Langsung Dilaksanakan Tanpa Lebih Dulu Izin Ketua Pengadilan Negeri. Bilamana pada saat melakukan penggeledahan terdapat keadaan yang sangat mendesak, terhadap Tersangka dan Terdakwa patut dikhawatirkan dapat segera melarikan diri dan mengulangi tindak pidana serta menghilangkan barang bukti yang dapat disita dan dengan keadaan tersebut tidak dimungkinkan lagi untuk meminta surat Izin Ketua Pengadilan Negeri. Maka penyidik dapat melakukan tindakan penggeledahan sekalipun tidak ada izin pengadilan. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 34 ayat (1) KUHAP, yang menyatakan bahwa “Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 33 ayat (5) penyidik dapat melakukan penggeledahan”. Penyidik Membuat Berita Acara Hasil Penggeledahan Dalam hal penggeledahan telah selesai dilakukan. Penyidik harus membuat berita acara penggeledahan dalam tempo waktu paling lama “dua hari” dan setelahnya penyidik berkewajiban untuk segera melaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri dan sekaligus meminta “persetujuan” Ketua Pengadilan Negeri dalam hal penggeledahan dilakukan dalam keadaan mendesak Berdasarkan uraian yang telah kami sampaikan di atas, dalam perkara Pemohon terkait peristiwa hukum pada saat dilakukan penangkap dan penggeledahan Kamar Kos milik Penohon, Termohon menunjukkan Surat Perintah Penggeledahan yang tidak tercantum nama Pemohon dibagian identitas yang akan dilakukan penggeledahan di dalam kamar kos tersebut dan secara paksa masuk ke kamar kos milik Pemohon untuk melakukan Penggeledahan, serta pada saat dilakukan Penangkapan dan penggeledahan tersebut tidak adanya Surat Ijin dari Pengadilan Negeri Setempat untuk melakukan penggeledahan kamar kos maupun penggeledahan badan dan tidak adanya saksi dari RT setempat maupun Linmas setempat. In casu tindakan yang dilakukan oleh Termohon tidak sesuai dan melanggar ketentuan Pasal 20 ayat (1) PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2019 TENTANG PENYIDIKAN TINDAK PIDANA yang berbunyi “(1) Penggeledahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf d, dilakukan oleh Penyidik/Penyidik Pembantu dengan dilengkapi dengan:
Surat Perintah Penggeledahan DAN Artinya anggota polres bojonegoro yang melakukan penggeledahan kamar kos milik Pemohon tidak dilengkapinya surat sebagaimana diisyaratkan dalam Perkap RI tersebut di atas, maka terhadap hal tersebut dapat dikatakan cacat demi hukum atau batal demi hukum. PEMOHON DITETAPKAN SEBAGAI TERSANGKA, DENGAN DASAR ATAU PERISTIWA YANG KELIRU Dalam Upaya penegakan Hukum Di Indonesia oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia (i.c Termohon) Penetapan tersangka kepada seseorang, berkaitan erat dengan kelayakan dan ketentraman hak hidup yang nyaman pada seseorang dan berkenaan dengan hak asasi manusianya. Dalam Pasal 1 angka 14 KUHAP, tersangka salah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP yang menyebutkan : “alat bukti yang sah terdiri dari: 1. Keterangan saksi 2. Keterangan ahli 3. Surat 4. Petunjuk 5. Keterangan terdakwa” Mengenai syarat penetapan tersangka diatur dalam KUHAP yang kemudian telah disempurnakan dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi No.21/PUU-XII/2014, dimana putusan tersebut menjelaskan penetapan tersangka harus berdasarkan minimal 2 (dua) alat bukti sebagaimana termuat dalam Pasal 184 KUHAP dan disertai dengan pemeriksaan calon tersangkanya. Berdasarkan peristiwa hukum yang dialami Pemohon dan dimohonkan Pemohon dalam Gugatan Praperadilan ini setelah saat dilakukan penangkapan dan penggeledahan Pemohon oleh Termohon, Pemohon dibawa oleh Termohon ke Markas atau Mess Anggota SatResmob Polres Bojonegoro untuk diintrogasi sehubungan dengan barang bukti yang ditemukan di dalam kamar kos milik Pemohon (i.c satu alat hisab sabu). Di mess tersebut, Pemohon mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan, dikarenakan anggota Resmob Polres Bojonegoro melakukan introgasi dengan menganiaya Pemohon menggunakan benda tumpul yang di arahkan ke tubuh Pemohon. Jelas di dalam Hukum Acara Pidana, Anggota Resmob tersebut tidak mengedepankan asas praduga tak bersalah (Presumption Of Innosence) dan bertindak sewenang-wenang (abus de droit) terhadap Pemohon. Bahwa pada saat dilakukan Penggeledahan Kamar kos milik Pemohon, anggota Resmob menemukan 1 (satu) alat hisap sabu (bong) beserta dengan pipet kaca yang ada bekas sabu (kerak sabu yang telah dibakar). Sesuai peristiwa hukum yang telah kami uraikan, untuk apa anggota resmob membawa Pemohon ke mess resmob guna diintrogasi lebih lanjut terkait kepemilikan sabu tersebut dengan menggunakan cara yang kasar (menganiaya Pemohon menggunakan benda tumpul) jelas-jelas Pemohon adalah salah satu penyalahgunaan Narkotika akibat dari dampak lingkungan serta seharusnya anggota resmob tetap mengedepankan asas praduga tak bersalah (Presumption Of Innosence) terlebih dahulu daripada bertindak sewenang-wenang (abus de droit); Bahwa penangkapan dan penggeledapan tersebut terjadi pada tanggal 01 Juli 2024 sekira pukul 18.30 WIB bertempat di Kamar kos milik Pemohon yang beralamat di Jl. Lettu Suwolo, Kel. Ngrowo, Kec. Bojonegoro, Kab. Bojonegoro, Jawa Timur dan Pemohon diserahkan kepada Penyidik Unit II SatNarkoba Polres Bojonegoro pada tanggal 02 Juli 2024 sekira pukul 08.00 WIB untuk diperiksa sehubungan dengan ditemukannya 1 (satu) alat hisap sabu (bong) beserta dengan pipet kaca yang ada bekas sabu (kerak sabu yang telah dibakar). Setelah dilakukan Labfor terkait sisa shabu pada kaca pipet tersebut yang berwujud kerak, dilakukan pengecekan berat kerak shabu tersebut dengan berat bersih 0,013 gram serta Pemohon dilakukan pengecekan urine dengan hasil positif mengandung metafethamine pada urine Pemohon, menurut hemat kami, Pemohon dapat dikategorikan sebagai penyalahguna dan Pencandu Narkotika Golongan I dan bukan merupakan jaringan gelap Narkotika (i.c adanya barang bukti alat hisap shabu dan pipet kaca yang terdapat sisa shabu yang berwujud kerak). Tindakan yang seharusnya dilakukan oleh Penyidik Unit II SatResNarkoba Polres Bojonegoro adalah melakukan rehabilitasi medis atau rehabilitasi sosial terhadap Pemohon supaya kedepannya Pemohon tidak lagi menggunakan atau mengkonsumsi Shabu ataupun Narkotika jenis lain dan hal tersebut mendukung program Pemerintah terkait pemberantasan Narkotika. In casu Progam Pemerintah terkait Pemberantasan Narkotika tersebut seharusnya Kepolisian Resor Bojonegoro memberantas terhadap pengedar Narkotika, bukan terhadap Pengguna atau Pecandu Narkotika. Adapun alasan dan dasar hukum kami Penasihat Hukum Pemohon adalah : Surat Telegram Kabreskrim Nomor : ST/23/III/RES.4/2021/BARESKRIM tanggal 04 Maret 2021 yang termuat dalam BBB TTK “Enam TTK “APABILA DI WILAYAH BELUM ADA LEMBAGA REHABILITASI MILIK PEMERINTAH AGAR DISERAHKAN KEPADA LEMBAGA SWASTA/ORANGTUA UNTUK MENDAPATKAN KONSELING SECARA PRIBADI TTK” dan PERJA REPUBLIK INDONESIA PEDOMAN NOMOR : 11 TAHUN 2021 TENTANG PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA NARKOTIKA DAN/ATAU TINDAK PIDANA PREKURSOR NARKOTIKA. Sehubungan dengan dasar hukum di atas, seharusnya Penyidik Unit II SatNarkoba Polres Bojonegoro melakukan rehabilitasi terhadap Pemohon bukan dilakukan penahanan seperti yang telah dilakukan Penyidik Unit II terhadap Pemohon dengan dasar dan pertimbangan sebagai berikut : Adanya alat hisap shabu (bong), Artinya Pemohon termasuk dalam pecandu dan penyalahguna Narkotika dan bukan merupakan pengedar narkotika serta hukuman yang tepat bagi Pemohon adalah dengan dilakukannya rehabilitasi medis atau rehabilitasi sosial terhadap diri Pemohon (vide Surat Telegram Kabreskrim Nomor : ST/23/III/RES.4/2021/BARESKRIM tanggal 04 Maret 2021dan SEMA Nomor 4 Tahun 2010 Tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan Dan Pecandu Narkotika Ke Dalam Lembaga Rahabilitasi Medis Dan Rehabilitasi Sosial. Bahwa selain hal tersebut di atas, adanya Surat-surat yang diberikan Penyidik kepada kami selaku Penasihat Hukum sehubungan dengan perkara tindak pidana Pemohon yang akan kami uraikan dibawah ini yaitu: Surat Nomor : SPDP/41/VII/RES.4.2./2024/Satresnarkoba tertanggal 01 Juli 2024 perihal Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan yang ditujukan kepada Kepala Kejaksaan Negeri Bojonegoro; Bahwa sehubungan dengan Surat-surat yang telah kami sampikan di atas dan telah kami bawa sebagai dasar/pedoman/bukti kami guna mengajukan Permohonan Praperadilan ini, setelah membaca dan mencermati Surat-Surat tersebut di atas, maka kami menganalisanya sehubungan surat-surat tersebut yang kami rasa janggal dan tidak sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku yaitu : Surat Nomor : SPDP/41/VII/RES.4.2./2024/Satresnarkoba tertanggal 01 Juli 2024 perihal Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan yang ditujukan kepada Kepala Kejaksaan Negeri Bojonegoro. In casu Surat tersebut di buat oleh Penyidik Satresnarkoba Polres Bojonegoro tanggal 01 Juli 2024 dan dikirimkan kepada Kepala Kejaksaan Negeri Bojonegoro yang pada isi pokok surat tersebut “Diberitahukan kepada Ka. Bahwa Penyidik Sat Res Narkoba Polres Bojonegoro pada hari senin tanggal 01 Juli 2024 telah memulai penyidikan dugaan Tindak Pidana Narkotika (Narkoba) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika di kamar kos Jl. Lettu Suwolo Kel. Ngrowo, Kec/Kab. Bojonegoro, pada hari Senin tanggal 01 Juli 2024 sekira Pukul 18.30 WIB dengan identitas tersangka Reza Prakosa Bin Yuni Priyanto (alm)”. Bahwa dikeluarkannya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan oleh Penyidik Unit II Satrenarkoba dengan dasar apa? Sesuai peristiwa hukum sebagaimana telah kami uraikan di atas terkait Penggeledahan dan Penangkapan terhadap Pemohon terjadi pada tanggal 01 Juli 2024 sekira pukul 18.30 WIB dan Pemohon di bawa anggota Resmob ke mess anggota resmob untuk diintrogasi dan dilakukan penganiayaan terhadap Pemohon. Pada tanggal 02 Juli 2024 sekira pukul 08.00 WIB Pemohon di serahkan anggota Resmob kepada Penyidik Unit II SatResnarkoba Polres Bojonegoro untuk dilakukan pemeriksaan terhadap Pemohon. Pertanyaan kami : Bagaimana mungkin SPDP tertanggal 01 Juli tersebut sudah dibuat yang memuat Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika dan dengsn rujukan yang digunakan di sebagai dasar penerbitan SPDP tersebut seperti Laporan Polisi, Surat Perintah Penyidikan, dan lain sebagainya kami, in casu jelas-jelas Penyidik belum melakukan Pemeriksaan terhadap Pemohon pada tanggal 01 Juli 2024 tersebut dan apabila dikorelasikan dengan penerbitan SPDP tidak logis. Hal tersebut tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 14 ayat (2) Perkap RI Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana serta di dalam Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan tertanggal 01 Juli 2024 yang ditanda tangani oleh EDI SISWANTO, S.H selaku Kasat Narkoba dengan pangkat Inspektur Polisi Dua (IPDA). Surat Ketetapan Nomor : SP.Tap/41/VII/RES.4.2./2024/Satresnarkoba tertanggal 02 Juli 2024 Tentang Penetapan Tersangka Terhadap Pemohon (Reza Prakosa Bin Yuni Priyanto (Alm)) dan Surat Perintah Penahanan Nomor : SP.Han/44/VII/RES.4.2./2024/Satresnarkoba tertanggal 03 Juli 2024. In casu Surat Ketetapan dan Surat Penahanan Pemohon tersebut ditanda tangani oleh EDI SISWANTO, S.H selaku Kasat Narkoba dengan pangkat Inspektur Polisi Satu (IPTU). Terdapat perbedaan pangkat Kasat Narkoba Polres Bojonegoro sehubungan dengan surat penetapan tersangka, surat penahanan dan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP). Pada Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan, Kasat Narkoba Polres Bojonegoro berpangkat Inspektur Polisi Dua (IPDA), sedangkan di dalam Surat Penetapan sebagai tersangka dan Surat Perintah Penahanan pangkat Kasat Narkoba adalah Inspektur Polisi Satu (IPTU). Perbedaan pangkat tersebut sangat terlihat berbeda dan apakah Surat tersebut dapat dikatakan sebagai Surat yang Sah menurut hukum? Selain perbedaan pangkat Kasat Narkoba Polres Bojonegoro, Surat Ketetapan dan Surat Penahanan Pemohon menggunakan dasar hukum apa untuk menetapkan Pemohon sebagai tersangka dan menahan Pemohon? Dikarenakan sesuai dengan peristiwa hukum yang terjadi sebagaimana telah kami uraikan di atas. Dalam proses penangkapan dan penggeledahan yang dilakukan oleh Anggota Resmob Polres Bojonegoro mengandung cacat formil dan materiil (vide Pasal 20 ayat (1) PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2019 TENTANG PENYIDIKAN TINDAK PIDANA), sehingga penetapan sebagai tersangka dan Penahanan tidak sah menurut hukum. Adapun alasannya kami uraikan di bawah ini : Anggota Resmob Polres Bojonegoro melakukan penggeledahan kamar kos Pemohon menunjukkan surat penangkapan dan penggeledahan, namun didalam surat tersebut tidak ada nama Pemohon (orang yang akan dilakukan penangkapan dan penggeledahan) dan tidak adanya Surat Izin Penggeledahan dari Pengadilan serta tidak adanya saksi dari RT maupun Linmas setempat (dimana dilakukan penangkapan dan penggeledahan); Berdasarkan uraian yang telah kami sampaikan, sehingga Surat Ketetapan Nomor : SP.Tap/41/VII/RES.4.2./2024/Satresnarkoba tertanggal 02 Juli 2024 dan Surat Perintah Penahanan Nomor : SP.Han/44/VII/RES.4.2./2024/Satresnarkoba tertanggal 03 Juli 2024 mengandung cacat formil maupun materiil dan oleh karenanya batal demi hukum. Surat Nomor : B/887/VII/Ka/PB.06.00/2024/BNNK tanggal 19 Juli 2024 Perihal Surat Jawaban Permohonan Asesmen Terpadu a.n REZA PRAKOSA Bin YUNI PRIYANTO (Alm); In casu Surat Assesmen tersebut yang pada isi pokok surat menerangkan “Disampaikan bahwa permohonan Asesmen Terpadu an. Reza Prakosa Bin Yuni Priyanto (Alm) dari Satresnarkoba Polres Bojonegoro tanggal 16 Juli 2024, sesuai juknis TAT telah dilakukan penelitian oleh Tim Sekretariatan BNN Kabupaten Tuban. Dengan memperhatikan perkara masih dalam proses penyidikan dan tersangka sudah ditahan sejak penangkapan 01 Juli 2024 (18 hari) dan tidak ada surat pernhyataan dari penyidik tersangka tidak terlibat dalam jaringan peredaran gelap Narkotika, serta sesuai petunjuk teknis TATA, bahwa rekomendasi asesmen terpadu dikeluarkan paling lambat hari ke-6 (enam) setelah penangkapan sudah terlewati. Disampaikan bahwa Tim Asesmen Terpadu BNNK Tuban akan membantu memberikan pelayanan Asesmen Ketika ada petunjuk P-19 dari Kejaksaan atas perkara tersebut”. Setelah membaca dan mencermati isi Surat tersebut bahwa penyidik Unit II Satresnarkoba Polres Bojonegoro terlambat dalam menyampaikan Surat permohonan Asesmen kepada BNNK Kabupaten Tuban. Perlu kami sampaikan sehubungan dengan asesmen tersebut, bahwa pihak keluarga pada tanggal 2 Juli 2024 telah menyampaikan dan memohon agar Pemohon (Reza Prakosa Bin Yuni Priyanto (Alm) dilakukan asesmen guna mendapatkan rehabilitasi terkait pecandu dan pengguna narkotika akibat dampak lingkungan. In casu asesmen tersebut merupakan hak bagi setiap pecandu dan pengguna narkotika yang harus di dapatkan oleh pecandu dan pengguna dalam narkotika (vide Surat Telegram Kabareskrim tertanggal 04 Maret 2021, SEMA No 4 Tahun 2010 Tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan Dan Pecandu Narkotika Ke Dalam Lembaga Rahabilitasi Medis Dan Rehabilitasi Sosial), namun Penyidik Unit II Satresnarkoba tidak langsung mengajukan permohonan tersebut kepada BNNK Kab. Tuban serta terkesan mengulur-ulur waktu supaya batas waktu penyampaian asesmen tersebut kadaluarsa dan Penyidik Unit II Satresnarkoba juga tidak melampirkan pernyataan bahwa Pemohon tidak terlibat jaringan gelap Narkotika yang notabennya Keluarga Pemohon tidak paham alur hukum sehubungan dengan hal tersebut. Berita Acara Pemeriksaan Pemohon Sebagai Tersangka yang dilakukan Penyidik Unit II Satresnarkoba Polres Bojonegoro pada hari Selasa tanggal 02 Juli 2024 sekira jam 09.00 WIB. In casu di dalam berita acara Pemeriksaan Pemohon sebagai Tersangka tersebut, Penyidik Unit II Satresnarkoba Polres Bojonegoro menanyakan perihal kejadian yang sudah lampau atau tidak pada saat kejadian tersebut, sehingga di dalam Berita Acara Pemeriksaan tersebut tidak adanya pertanyaan dari Penyidik atau disengaja oleh Penyidik perihal dengan kecanduan dan penyalahgunaan Narkotika tersebut kepada Pemohon baik dari efek menggunakan, efek tidak menggunakan, urine yang dilakukan pengecekan tidak dilampirkan, menggunakan untuk apa dan lain sebagainya sehubungan dengan kecanduan dan penyalahgunaan Narkotika. Berita Acara Pemeriksaan Tambahan Tersangka (Pemohon) pada hari Jumat tanggal 26 Juli 2024 sekira jam 18.00 WIB. In casu berita acara pemeriksaan tambahan tersebut adalah permintaan kami Penasehat Hukum Pemohon sehubungan dengan kecanduan dan penyalahgunaan Narkotika tersebut kepada Pemohon baik dari efek menggunakan, efek tidak menggunakan, urine yang dilakukan pengecekan tidak dilampirkan, menggunakan untuk apa dan lain sebagainya sehubungan dengan kecanduan dan penyalahgunaan Narkotika, dikarenakan fakta yang terjadi Pemohon dilakukan test urine dengan hasil positif mengandung metafethamine (sabu), terdapat alat hisap (bong) dan sisa shau yang menjadi kerak akibat dibakar dengan berat bersih 0,013 gram. Jelas dalam pemeriksaan tersebut adanya upaya pemaksaan berkas perkara (i.c Perkara Pemohon) supaya Pemohon dapat dilakukan penahanan oleh Termohon. Penahan tersebut yang dilakukan oleh Penyidik Unit II Satresnarkoba patut dikatakan sebagai pemaksaan penahanan terhadap Pemohon yang menyalahi aturan perundang-undangan yang berlaku dari segi Hak Asasi Manusia, KUHAP, Perkap Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana, Surat Telegram Kabareskrim tertanggal 04 Maret 2021, SEMA No 4 Tahun 2010 Tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan Dan Pecandu Narkotika Ke Dalam Lembaga Rahabilitasi Medis Dan Rehabilitasi Sosial. Berdasarkan uraian yang telah kami sampaikan di atas, terhadap perkara Pemohon terdapat banyak sekali kesalahan dalam administrasi surat yang dikeluarkan oleh Penyidik Satresnarkoba Polres Bojonegorondi antaranya : Pejabat yang menandatangi Surat-surat tersebut di atas adanya perbedaan Pangkat di dalam Instansi Polri (IPDA dan IPTU).
PETITUM Berdasarkan pada argument dan fakta-fakta yuridis diatas, Pemohon mohon kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bojonegoro yang memeriksa dan mengadili perkara a quo berkenan memutus perkara ini sebagai berikut : Menyatakan diterima permohonan Pemohon Praperadilan untuk seluruhnya; Pemohon sepenuhnya memohon kebijaksanaan Yang Terhormat Ketua Pengadilan Negeri Bojonegoro Cq. Majelis Hakim yang memeriksa, mengadili dan memberikan putusan terhadap Perkara a quo dengan tetap berpegang pada prinsip keadilan, kebenaran dan rasa kemanusiaan. Apabila Yang Terhormat Ketua Pengadilan Negeri Bojonegoro Cq. Majelis Hakim yang memeriksa Permohonan a quo berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono). |
||||
Pihak Dipublikasikan | Ya |